“Swan song
A declaration of endlessness
I swear I will not look back, as I return into the black
When the veil lifts, how will I know?
How will I know?
Will I see God?
As above, so below
Dismantled piece by piece, what’s left will not decease
As within, so without
The seasons bring relief
Just let me live and die in peace.”
Penggalan lirik di atas adalah dua bait terakhir dari lagu berjudul “Memento Mori” milik Architects yang diambil dari album terbaru mereka All Our Gods Have Abandoned Us. Album ini dirilis pada 27 Mei 2016 lalu melalui Epitaph Records dan jika dilihat dari statistik penjualan, album ini merupakan album tersukses dari Architects sampai saat ini. Sukses menempati posisi 15 pada UK Albums Chart.
Thomas Hill, penulis dan kritikus yang menulis untuk Metal Hammer mendeskripsikan lagu ini sebagai lagu paling penting dari album All Our Gods Have Abandoned Us dan saya kira kita bisa sepakat mengenai hal tersebut. Saat membaca lirik dari lagu tersebut, kita dapat merasa bahwa ini adalah lagu yang sangat emosional dan penuh pesan misterius. Tapi banyakkah dari kita yang tahu bahwa lagu ini ditulis oleh Tom Searle, mendiang gitaris mereka yang beberapa hari lalu meninggal dunia setelah berjuang selama tiga tahun melawan penyakit kanker?
Tapi daripada menyesali hal tersebut, bukankah lebih baik kita merayakan kehidupan dari Tom Searle? Kalo kalian sepakat dengan hal itu, mari kita lanjut.
Tom Searle lahir pada 23 Oktober 1987 di sebuah tempat di daerah Brighton, Inggris. Tom lahir bersamaan dengan saudara kembarnya, Dan Searle. Tumbuh bersama, serta ikatan batin yang kuat sebagai saudara kembar membuat Dan serta Tom menjadi sangat dekat secara fisik maupun batin. Melalui eulogi yang dia tulis di Facebook, Dan mengingat sosok Tom sebagai seseorang yang paling dekat dengan dirinya. “Dia adalah orang yang lucu, cerdas, dan juga manis. Dia meninggalkan lubang yang sangat dalam di kehidupan kami semua.”.
Pada suatu waktu di tahun 2004, dua Searle ini memutuskan untuk membuat sebuah band. Dari semua pilihan jenis musik yang bisa mereka mainkan, Tom serta Dan memilih untuk akhirnya memainkan musik metalcore, sebuah musik yang mulai berkembang di pertengahan 80an dengan karakteristik seperti verse yang agresif dan chorus yang melodik dengan bertumpu pada breakdown di beberapa titik. Beberapa lama setelah mereka sepakat untuk memainkan metalcore, mereka akhirnya mengajak Matt Johnson, Tim Lucas dan Tim Hillier-Brook untuk membuat sebuah band yang pertama kali mereka namai Inharmonic dan sempat berganti nama menjadi Counting The Days, sebelum akhirnya benar-benar mantap dengan nama Architects.
Dalam perjalanannya Architects mengalami bongkar pasang personel, seperti vokalis Sam Carter yang masuk menggantikan vokalis lama Matt Johnson. Namun, satu hal yang pasti adalah duo kembar Searle, Dan serta Tom akan selalu menjadi nyawa utama dari Architects.
Tom Searle tumbuh dengan mendengarkan album fundamental dari Nirvana berjudul Nevermind (1991). Melalui sebuah wawancara dengan Music Radar, Tom mengutarakan bagaimana album ini benar-benar telah mengubah pandangannya mengenai musik. “Aku dan saudaraku, Dan baru berusia 11 tahun pada waktu kami mendengarkan album itu, sekitar tahun 1998. Kami benar-benar jatuh cinta terhadap album ini.”. Kecintaan pada Nirvana itu pulalah yang akhirnya membuat dia serta Dan hanya mendengarkan album Nevermind selama setahun penuh, mereka biasa mendengarkan album ini sambil memainkan game dari komputer.
Namun, bukan album Nevermind-lah yang membuat Tom begitu mantap untuk menjadikan musik Architects seperti sekarang ini. Album yang paling berjasa dalam menjadikan Tom seorang metalhead adalah album dari band asal Amerika Serikat, Killswitch Engage berjudul Alive or Just Breathing (2002). Sebelum mendengarkan album ini, Tom mengaku sebagai orang yang lebih menyukai musik rock seperti di album Tool yang berjudul Lateralus (2001), bahkan Tom mengaku bahwa dia tidak pernah menyukai screaming vocal sebelum dia bersentuhan dengan album milik Killswitch Engage tersebut.
Tom Searle adalah penulis lirik utama, pemberi dinamika, serta pemimpin dari Architects. Pengaruh musik yang dia bawa, biasanya langsung ditranslasikan ke dalam musik Architects. Ketika kita mendengarkan Architects, kita akan menemukan cukup banyak pengaruh di dalamnya, mulai dari djent yang kental, riff yang cukup kompleks, dan tentu saja pengaruh atmosferik yang tak jarang memakan porsi cukup banyak di materi milik mereka.
Musik yang atmosferik itu bukan datang secara tiba-tiba, Tom, masih kepada Music Radar mengatakan bahwa album milik Sigur Ros yang berjudul Takk (2005) banyak mempengaruhi cita rasa musiknya. “Album ini memberi harapan dan begitu indah. Tak banyak bagian gitar di sini, tapi aku menyukainya, terutama dengan aransemennya yang kompleks.”. Hasilnya pun dapat ditebak, Architects menjadi salah satu band metalcore yang tak hanya mengandalkan kebisingan saja, lebih daripada itu Architects memberikan sentuhan ilahi yang luhur untuk melengkapi kebisingan itu. Sehingga menjadi sebuah sound yang bisa disebut sebagai signature sound milik Architects sendiri.
Lalu siapa aktor yang membuat semua hal tersebut menjadi mungkin? Tentu tanpa mengerdilkan peran anggota band yang lain, pengaruh referensi dari Tom Searle sangat kental di musik yang dibawakan oleh Architects.
***
Sekitar tiga tahun yang lalu, Tom Searle untuk pertama kalinya didiagnosis menderita penyakit kanker kulit melanoma, sebuah jenis kanker yang berkembang pada sel pigmen kulit yang berfungsi sebagai penghasil melamin. Tak lama setelah itu, Tom sempat divonis sehat setelah dia menjalani operasi untuk mengangkat salah satu bagian dari bagian bawah kakinya. Semasa masa vonis sehat tersebut, Tom mengalami tahun-tahun terbaiknya bersama dengan Architects. Merilis album ke-6, Lost Forever // Lost Together dan bahkan mendapat dukungan penuh dari Zane Lowe ketika lagu “Naysayer” untuk pertama kalinya diputar di BBC Radio 1.
“Ketika Dan Carter dan Zane Lowe memainkan “Naysayer” dari album terbaru kami (pada masa itu), aku berpikir “wow, itu gila sekali.” Rasanya luar biasa ketika mereka mendukung kami.” kenang Tom kepada Figure8.
Di masa itu, Tom memberi sebuah teladan yang patut diacungi jempol. Tanpa berkecil hati, Tom yang sudah mendapat vonis akan penyakit kanker justru tertantang untuk membuktikan bahwa hidup yang dia jalani tidak akan didikte oleh apapun, termasuk oleh penyakit yang bisa saja mencabut nyawanya kapanpun ia mau. Salah satu bentuk perlawanan itu adalah sebuah lagu berjudul “C.A.N.C.E.R”, track ke-7 dari album Lost Forever // Lost Together.
“Aku menulis lagu itu (C.A.N.C.E.R) tentang diriku sendiri. Aku menulisnya ketika aku divonis terkena penyakit kanker dan sedang menunggu selama sebulan untuk mencari tahu hasil dari scan yang kulakukan.” ungkap Tom Searle kepada Figure 8, “Aku tidak ingin itu (lagu “C.A.N.C.E.R”) terdengar seperti duka cita, tapi aku juga tidak ingin terdengar itu terlalu personal.”.
Lagu “C.A.N.C.E.R” menunjukan kemampuan dari Tom Searle dalam memproduksi lirik yang tak main-main. Sebagai contoh ketika dia menulis bait yang berbunyi demikian, “Your name carries more than diseases / A symbol of man brought to his knees.”. Dengan gamblang, Tom mampu mendeskripsikan penyakit yang dia idap tanpa terdengar seperti orang yang sedang berada pada fase tanpa pengharapan. Bahkan, jika saja penyakit itu merenggut nyawanya pada waktu itu, Tom sudah siap menghadapinya ketika dia menulis, “I feel it now more than ever / A reaper’s watch / My life’s ready to sever.”.
Dua tahun berlalu, sejak album Lost Forever // Lost Together dirilis dan fans dari Architects sempat menghidupi sebuah ilusi bahwa selama ini Tom Searle baik-baik saja. Bahkan, dia terlihat cukup sehat dan normal tanpa sedikitpun menunjukan gejala bahwa dirinya sedang menuju fase paling kritis dalam kesehatannya. Sampai hari tersebut tiba.
“Beberapa dari kalian tentu menyadari bahwa Tom tidak bisa menghadiri berbagai konser (yang Architects lakukan) selama 15 bulan terakhir dan sekarang aku bisa memberi tahu kalian bahwa hal itu dikarenakan berbagai operasi yang harus dia jalani untuk merawat penyakit kanker yang dia derita. Ketika kita pergi untuk menjalani tur European Festival pada 2 Juni 2016 lalu, Tom merasa sangat tidak sehat. Dia disarankan untuk tinggal di rumah sakit supaya mendapatkan perawatan penuh, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk dia dan Tom akhirnya memilih keluar dari rumah sakit dua hari sebelum kami berangkat ke Jerman.” ungkap saudara kembar dari Tom, Dan Searle melalui Facebook.
Beberapa bulan sebelumnya, Architects baru saja merilis album ke-7 dan terbaru mereka yang mereka namai, All Our Gods Have Abandoned Us. Sampai saat itu, tidak ada yang mengetahui bahwa hanya berselang beberapa bulan kemudian, Tom Searle harus menjalani keadaan paling kritis dalam kehidupannya.
Jika kita putar kembali album All Our Gods Have Abandoned Us, kita akan mengetahui bahwa album ini diakhiri dengan sebuah lagu berjudul “Memento Mori”. Memento mori adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin, yang pertama kali dipraktekkan pada masa kekaisaran Romawi. Frase ini biasa diserukan sebagai pengingat bagi jenderal yang biasanya mengalami euforia berlebihan setelah memenangkan suatu peperangan. Secara sederhana, istilah memento mori berarti sebagai ‘ingatlah bahwa suatu saat kamu akan mati’.
Lagu “Memento Mori” di album All Our Gods Have Abandoned Us ditulis oleh Tom Searle sendiri. Mungkin memang dengan cara seperti inilah Tom ingin mengingatkan kepada kita bahwa dalam waktu dekat atau lama, dia akan pergi meninggalkan Architects. Menariknya, Tom Searle seperti sudah tahu bahwa ini mungkin menjadi album terakhirnya bersama Architects ketika kita mulai menekuni lirik yang ada di lagu tersebut.
Seperti yang sudah ditulis dalam pembukaan tulisan ini, Tom Searle menuliskan dua bait terakhir yang seperti menunjukan bahwa dia sudah siap dengan semuanya. Dua bait terakhir tersebut dibuka oleh sebuah frasa “Swan Song”, sebuah frase metafora yang diambil dari cerita kuno, bercerita tentang seekor angsa yang menyanyikan sebuah lagu indah sesaat sebelum kematiannya. Frase swan song ini akhirnya dikenal sebagai sebuah frase yang dihubungkan dengan penampilan terakhir atau sebuah perpisahan. Dua bait terakhir di lagu “Memento Mori” kemudian diakhiri dengan sebuah kalimat, “Just let me live and die in peace.”, tentunya kita tidak pernah menyangka bahwa itu akan menjadi perpisahan terakhir sekaligus menjadi lirik terakhir yang ditulis oleh Tom Searle.
***
20 Agustus 2016, pukul 12.12 waktu setempat, Tom Searle akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, mengakhiri perjuangan tiga tahun melawan kanker melanoma.
Dan Searle, saudara Tom, melalui Facebook mengatakan bahwa selama dua bulan terakhir Tom terus berjuang dengan sekuat tenaga untuk memenangkan pertarungan melawan penyakit kanker yang dia derita. Bahkan, Dan mengungkapkan bahwa mereka sempat menemukan sebuah harapan bahwa Tom akan sembuh, namun dua minggu terakhir menjelang kematiannya benar-benar menjadi tamparan keras bagi mereka, ketika keadaan Tom justru semakin memburuk sebelum pada akhirnya Tom benar-benar meninggalkan mereka.
Satu yang begitu membekas adalah bagaimana Tom Searle sama sekali tidak membiarkan penyakit kanker yang sedang dia derita membuat dirinya berubah sama sekali. Dan menceritakan bagaimana Tom harus dibawa ke ICU pada saat mereka melakukan tur di Luksemburg, bahkan Dan menjelaskan bahwa Tom sudah dianggap koma saat itu. Tapi lima hari kemudian, tiba-tiba Tom Searle terbangun dan beberapa hari kemudian memilih untuk keluar dari rumah sakit. “Aku dan Tom (bahkan) membatalkan ambulans terbang yang seharusnya membawa kami pulang ke rumah dan kami akhirnya memilih menaiki kereta Eurostar untuk pulang ke rumah, classic Tom.” ungkap Dan Searle melalui obituari yang dia tulis di Facebook.
Kematian Tom Searle memang seperti sebuah petir di siang bolong. Bagaimanapun, banyak orang yang akan merindukan sosoknya, Tom Searle adalah antitesis dari kehidupan rockstar. Rockstar selama ini dinilai sebagai sosok egomaniak dan penuh pemujaan terhadap diri mereka sendiri, Tom di lain pihak, justru dikenal sebagai orang yang secara garis besar sangat likable. Peninggalannya bagi musik sudah tertulis jelas dengan tinta warna emas dan album All Our Gods Have Abandoned Us ibarat sebuah perpisahan termegah yang pernah dia harapkan. Akan tetapi di balik segala pencapaian yang telah Tom Searle lakukan, peninggalan paling berharga yang bisa dia wariskan adalah pelajaran tentang kegigihan dalam menjalani kehidupan.
Penyakit kanker melanoma memang pada akhirnya menghentikan kerja dari sistem organ milik Tom Searle, tapi di saat yang bersamaan dia juga menunjukan bahwa dirinya tidak pernah bisa dikalahkan oleh kanker dengan cara terus menghidupi cita-cita yang dia miliki sampai detik terakhir.
Rest in peace, Tom.