Kevin Devine ini musisi yang sangat menarik, gaya bermusiknya tidak hanya fokus pada satu genre saja, dia adalah seorang musisi yang benar-benar versatile dan berbakat. Namun sayang sangat sedikit diperbincangkan. Padahal penulis lagu yang lahir 36 tahun lalu ini memiliki gaya penulisan yang benar-benar unik dan dapat dikatakan underrated. Kevin tak segan untuk mengambil pendekatan introspektif terhadap lagu-lagu yang dia tulis, tak jarang juga dia berbicara lantang tentang politik. Oh ya, dia juga mempunyai band bersama anggota Manchester Orchestra bernama Bad Books.
Melalui label Procrastinate! Music Traitors, Kevin Devine baru saja merilis album ke-9 dia yang berjudul Instigator pada 21 Oktober 2016 yang lalu. Melalui album baru ini, sepertinya Kevin ingin memantapkan posisinya sebagai seseorang yang aktif dalam melakukan perubahan di dunia ini. Paling tidak itu adalah analisis sederhana saya mengenai judul album ini, Intigator yang dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti penghasut. Hasutan seperti apa yang sedang Kevin Devine siapkan untuk kita?
Tracklist:
1. No Why
2. Instigator
3. Magic Magnet
4. Freddie Gray Blues
5. No History
6. Daydrunk
7. Both Ways
8. No One Says You Have To
9. Guard Your Gates
10. Before You’re Here
11. I Was Alive Back Then
Lagu pertama yang dirilis dari album ini adalah sebuah lagu berjudul “No History”. Lagu ini, tanpa kita cermati lirik yang terkandung di dalamnya, merupakan sebuah lagu yang membangkitkan nostalgia kita akan musik alternative di tahun 90an. Musik yang ringan, namun menyimpan makna dalam yang bisa kita interpretasikan sesuai kapasitas kita. Karakter musik yang grand dan seperti terbuka lebar itu dapat dengan mudah kita temukan di band seperti R.E.M yang populer dengan lagu-lagu seperti “Everybody Hurts”, “Losing My Religion”, dan “Imitation of Life”. Paling tidak, tanpa mengerti pesan yang disampaikan Kevin, kita bisa menilai bahwa lagu ini seharusnya bisa diterima secara luas karena memiliki daya tarik mainstream yang cukup kuat secara komposisi dan susunan nada.
Namun, jika kita memilih untuk menggali rasa ingin tahu kita secara lebih dalam terhadap lagu ini. Kita bisa menemukan beberapa lirik yang begitu menampar kita. Kevin Devine memang tak pernah ragu-ragu untuk menjadi hiperpolitikal ketika pesan yang dia bawakan memang dia yakini benar. Seperti pada lirik “The mosque on my corner / the firetrucks everywhere / the angers / the mourners / No history, it’s dead in the air.”. Kevin Devine dalam sebuah rilisan pers mengakui bahwa lagu ini terinspirasi dari serangan teroris 11/19 yang menurut dirinya mengganti arah dunia secara keseluruhan. Namun, saya menjadi sedikit bergedik ngeri ketika menyadari bahwa lirik yang ditulis oleh Kevin tersebut sebenarnya masih sangat relevan ketika dihubungkan dengan kondisi sekarang.
Satu lagu tersebut meyakinkan diri saya untuk tidak melewatkan album ini. Melalui Instigator, Kevin Devine mendeskripsikan bagaimana sebuah musik yang mempunyai daya tarik mainstream sebenarnya bisa memiliki pesan yang penting. Saya lalu menggeleng-gelengkan kepala ketika saya menulis ini, hanya untuk menyadari bahwa cukup banyak musik populer di jaman sekarang justru tidak memiliki kepedulian akan hal tersebut. Sementara, di salah satu sudut klub kecil sana, seorang Kevin Devine mungkin sedang memainkan gitarnya sambil menceritakan konsep dan gagasan penting untuk menjadikan dunia ini lebih layak huni.
Lagu “Freddie Gray Blues” adalah salah satu bukti akan hal tersebut. Kevin menulis sebuah devosi tentang pembunuhan ekstra yudisial yang menimpa pemuda berusia 25 tahun, Freddie Gray, saat menyanyikan bait “The system’s broken / Not breaking / It’s done” bersamaan dengan alunan clean guitar yang membayangi suara Kevin di balik layar. Satu hal yang begitu berkesan dari lirik Kevin di sini adalah bagaimana Kevin membawa penulisan lirik yang begitu tulus dan jujur tanpa bermaksud terlalu persuasif. Kevin seperti hanya memaparkan sebuah fakta bahwa inilah yang sedang terjadi dan membiarkan pilihan berada di tangan pendengarnya sendiri. Tapi justru dengan melakukan itu, Kevin melakukannya dengan sangat efektif.
Selain makna yang begitu dalam, hal paling menarik di album ini adalah pemilihan tone gitar dan juga melodi. Dalam beberapa kesempatan, Kevin memberi layer di lagu miliknya dengan beberapa petikan yang terdengar sangat nyaman di telinga. Sound yang dihasilkan di album ini begitu shinny, earworm, seperti sebuah sound yang everlasting, yang jika didengarkan dalam 5 atau 10 tahun mendatang tidak akan terdengar outdated. Terlebih, Kevin bukanlah orang yang menyukai penumpukan instrumen dalam satu bar. Dia membiarkan beberapa bagian sedikit terbuka, memberikan celah untuk momen instropeksi bagi pendengarnya.
Saya sangat menyukai track terakhir di album ini. Saya kira, ketika Kevin Devine memutuskan untuk memasuki wilayah milik Noah Gundersen, itu adalah pertanda yang sangat baik. Lagu berjudul “I Was Alive Back Then” ini merupakan sebuah penutup yang sangat pas. Seperti sebuah momen pendamaian dengan diri sendiri, tentang ingatan masa lalu yang selalu terdengar lebih manis. Kevin sempat tercebur dalam konsep pemikiran seperti itu, sebelum akhirnya dia dengan mantab berkata “Now, I am again.”. Lagu ini menyentuh, selalu menarik untuk mendengarkan seseorang bercerita tentang masa lalunya dan lagu ini sempat menyentuh diri saya sendiri, membawa saya ke dalam masa kontemplasi yang cukup dalam tentang apa yang sudah saya capai sejauh ini. Thanks Kevin.
Saya tidak tahu bagaimana Kevin mengurutkan album miliknya setelah Instigator. Ini adalah album yang memiliki pesan sangat kuat dengan komposisi musik yang mudah untuk diinterpretasikan. Lagu-lagu yang ada di Instigator juga tak hanya sebatas sugarcane saja, terdengar cantik namun tanpa makna, tapi dibalut dengan tujuan yang sangat jelas. Jika Kevin Devine masih didiskreditkan setelah album ini, saya tidak tahu lagi harus berkata apa. Paling tidak dengarkanlah lagu “No History”.
Go listen: “No History”, “I Was Alive Back Then”, “Guard Your Gates”.